FILSAFAT DAKWAH
1.
MENGAPA
KITA HARUS MEMPELAJARI HAKEKAT FILSAFAT DAKWAH ?
Menurut
Harold H. Titus, filsafat adalah suatu usaha memahami alam semesta, maknanya
dan nilainya. Apabila tujuan ilmu adalah kontrol, dan tujuan seni adalah
kreativitas, kesempurnaan, bentuk keindahan komunikasi dan ekspresi, maka
tujuan filsafat adalah pengertian dan kebijaksanaan (understanding and wisdom).
Dr
Oemar A. Hoesin mengatakan: Ilmu memberi kepada kita pengatahuan, dan filsafat
memberikan hikmah. Filsafat memberikan kepuasan kepada keinginan manusia akan
pengetahuan yang tersusun dengan tertib, akan kebenaran. S. Takdir Alisyahbana
menulis dalam bukunya: filsafat itu dapat memberikan ketenangan pikiran dan
kemantapan hati, sekalipun menghadapi maut. Dalam tujuannya yang tunggal (yaitu
kebenaran) itulah letaknya kebesaran, kemuliaan, malahan kebangsawanan filsafat
di antara kerja manusia yang lain. Kebenaran dalam arti yang sedalam-dalamnya
dan seluas-luasnya baginya, itulah tujuan yang tertinggi dan satu-satunya.
Bagi
manusia, berfilsafat itu bererti mengatur hidupnya seinsaf-insafnya,
senetral-netralnya dengan perasaan tanggung jawab, yakni tanggung jawab
terhadap dasar hidup yang sedalam-dalamnya, baik Tuhan, alam, atau pun
kebenaran. Radhakrishnan dalam bukunya, History of Philosophy, menyebutkan:
Tugasfilsafat bukanlah sekadar mencerminkan semangat masa ketika kita hidup,
melainkan membimbingnya maju. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai,
menetapkan tujuan, menentukan arah dan menuntun pada jalan baru. Filsafat
hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada kita untuk menompang dunia baru,
mencetak manusia-manusia yang menjadikan penggolongan-penggolongan berdasarkan
'nation', ras, dan keyakinan keagamaan
mengabdi kepada cita mulia kemanusiaan.
Filsafat
tidak ada artinya sama sekali apabila tidak universal, baik dalam ruang
lingkupnya maupun dalam semangatnya. Studi filsafat harus membantu orang-orang
untuk membangun keyakinan keagamaan atas dasar yang matang secara intelektual.
Filsafat dapat mendukung kepercayaan keagamaan seseorang, asal saja kepercayaan
tersebut tidak bergantung pada konsepsi prailmiah yang usang, yang sempit dan
yang dogmatis. Urusan (concerns) utama agama ialah harmoni, pengaturan, ikatan,
pengabdian, perdamaian, kejujuran, pembebasan, dan Tuhan.
Berbeda dengan pendapat Soemadi Soerjabrata, yaitu mempelajari filsafat adalah untuk mempertajamkan pikiran, maka H. De Vos berpendapat bahwa filsafat tidak hanya cukup diketahui, tetapi harus dipraktekkan dalam hidup sehari-sehari. Orang mengharapkan bahwa filsafat akan memberikan kepadanya dasar-dasar pengetahuan, yang dibutuhkan untuk hidup secara baik. Filsafat harus mengajar manusia, bagaimana ia harus hidup secara baik. Filsafat harus mengajar manusia, bagaimana ia harus hidup agar dapat menjadi manusia yang baik dan bahagia. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan filsafat adalah mencari hakikat kebenaran sesuatu, baik dalam logika (kebenaran berpikir), etika (berperilaku), maupun metafisik (hakikat keaslian).
Berbeda dengan pendapat Soemadi Soerjabrata, yaitu mempelajari filsafat adalah untuk mempertajamkan pikiran, maka H. De Vos berpendapat bahwa filsafat tidak hanya cukup diketahui, tetapi harus dipraktekkan dalam hidup sehari-sehari. Orang mengharapkan bahwa filsafat akan memberikan kepadanya dasar-dasar pengetahuan, yang dibutuhkan untuk hidup secara baik. Filsafat harus mengajar manusia, bagaimana ia harus hidup secara baik. Filsafat harus mengajar manusia, bagaimana ia harus hidup agar dapat menjadi manusia yang baik dan bahagia. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan filsafat adalah mencari hakikat kebenaran sesuatu, baik dalam logika (kebenaran berpikir), etika (berperilaku), maupun metafisik (hakikat keaslian).
·
Dengan
berfilsafat, seseorang akan lebih menjadi manusia, karena terus melakukan
perenungan akan menganalisa hakikat jasmani dan hakikat rohani manusia dalam
kehidupan di dunia agar bertindak bijaksana.
·
Dengan
berfilsafat seseorang dapat memaknai makna hakikat hidup manusia, baik dalam
lingkup pribadi maupun sosial.
·
Kebiasaan
menganalisis segala sesuatu dalam hidup seperti yang diajarkan dalam metode
berfilsafat, akan menjadikan seseorang cerdas, kritis, sistematis, dan objektif
dalam melihat dan memecahkan beragam problema kehidupan, sehingga mampu meraiih
kualitas, keunggulan dan kebahagiaan hidup.
·
Dengan
berfilsafat manusia selalu dilatih, dididik untuk berpikir secara universal,
multidimensional, komprehensif, dan mendalam.
·
Belajar
filsafat akan melatih seseorang untuk mampu meningkatkan kualitas berfikir
secara mandiri, mampu membangun pribadi yang berkarakter, tidak mudah
terpengaruh oleh faktor eksternal, tetapi disisi lain masih mampu mengakui
harkat martabat orang lain, mengakui keberagaman dan keunggulan orang lain.
·
Belajar
filsafat akan memberikan dasar-dasar semua bidang kajian pengetahuan,
memberikan pandangan yang sintesis atau pemahaman atas hakikat kesatuan semua
pengetahuan dan kehidupan manusia lebih dipimpin oleh pengetahuan yang baik
Secara garis besar..manfaat belajar filsafat adalah
sebagai berikut:
1. Filsafat
membantu kita memahami bahwa sesuatu tidak selalu tampak seperti apa adanya.
2. Filsafat
membantu kita mengerti tentang diri kita sendiri dan dunia kita
3. Filsafat
membuat kita lebih kritis
4. Filsafat
mengembangkan kemampuan kita dalam:
- Menalar
secara jelas
- Membedakan
argumen yang baik dan yang buruk
- Menyampaikan
pendapat secara jelas
- Melihat
sesuatu melalui kacamata yang lebih luas
- Melihat
dan mempertimbangkan pendapat dan pandangan yang berbeda.
5. Filsafat
dapat memberi bekal dan kemampulan pada kita untuk memperhatikan cara pandangan
kita sendiri dan pandangan orang lain dengan kritis
Pada umumnya dapat
dikatakan bahwa studi filsafat semakin menjadikan orang mampu untuk menangani
pertanyaan mendasar manusia yang tidak terletak dalam wewenang metodis
ilmu-ilmu khusus. Jadi filsafat membantu untuk mendalami
pertanyaan-pertanyaan asasi manusia tentang realitas (filsafat teoritis) dan
lingkup tanggung jawabnya (filsafat praktis). Kemampuan itu dipelajarinya dari
luar jalur secara sistematik dan secara historis.
·
Pertama secara sistematis. Artinya filsafat menawarkan
metode-metode mutakhir untuk menangani masalah-masalah mendalam manusia,
tentang hakikat kebenaran dan pengetahuan, baik biasa maupun ilmiah, tentang
tanggung jawab, dan keadilan dan sebagainya.
·
Jalur kedua melalui jalur sejarah filsafat. Di situ orang
belajar untuk mendalami, menanggapi, serta belajar dari jawaban-jawaban yang
sampai sekarang ditawarkan oleh para pemikir dan filosof terkemuka terhadap
pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Kemampuan ini
memberikan sekurang-kurangnya tiga kemampuan yang memang sangat dibutuhkan oleh
segenap orang yang dizaman sekarang harus atau mau memberikan pengarahan, bimbingan,
dan kepemimpinan spiritual dan intelektual dalam masyarakat:
Suatu pengertian lebih
mendalam tentang manusia dan dunia. Dengan mempelajari pendekatan-pendekatan
pokok terhadap pertanyaan-pertanyaan manusia paling hakiki, serta mendalami
jawaban-jawaban yang diberikan oleh pemikir-pemikir besar umat manusia, wawasan
dan pengertian kita sendiri diperluas.
Kemampuan untuk
menganalisis secara terbuka dan kritis argumentasi-argumentasi,
pendapat-pendapat, tuntutan-tuntutan, dan legitimasi-legitimasi dari pelbagai
ajaran agama, ideologi dan pandangan dunia. Secara singkat, filsafat selalu
juga merupakan kritik ideologi. Justru kemampuan ini sangat diperlukan dewasa
ini di mana kebudayaan merupakan pasaran ide-ide dan ideologi-ideologi relegius
dan politis yang mampu membujuk manusia untuk mempercayakan diri secara buta
kepada mereka. Dalam situasi ini sangat diperlukan kemampuan untuk tidak
sekedar menolak ideologi-ideologi secara dogmatis dan dari luar, melainkan
untuk menangggapi secara kritis dan argumentatif.
2.
APA
PENGERTIAN HAKEKAT DAKWAH ?
Ada tiga hal yang disebut sebagai hakikat dakwah islamiah.
yaitu bahwa dakwah itu adalah merupakan sebuah kebebasan, rasionalitas, dan
universal
- Kebebasan . islam sebagai agama
yang mengajak untuk memikirkan klaim terpenting tentang hidup, dan mati.
kebahagiaan dan siksaan, kebahagaiaan dunia dan siksaan. maka dakwah atau
misi harus dijalankan dengan penih integritas dari pendakwah dan objek
dakwah. bila pihak-pihak tersebut merusak integritas ini dengan cara
mencari keuntungan atau memanfaatkan demi tujuan selain kebenaran dari
ALLAH merupakan kejahatan besar dalam dakwah. Dakwah islam harus dilakukan
dengan serius dan diharapkanditerima dengan komitmen yang sama terhadap
kebenaran. Objek dakwah harus merasa bebas sama sekali dari ancaman. harus
benar-benar yakin bahwa kebenaran ini meripakan hasil dari penilaiannya
sendiri. sebagaimana yang telah disebutkan dalam AL-Qur'an surah
(AL-Baqoroh ayat 256)
لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ
الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ
بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
''Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu
barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak
akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Disitu disebutkan dengan jelas bahwa kegiatan dakwah itu tidak ada unsur paksaan. Dakwah islam adalah ajakan yang tujuannya dapat tercapai hanya dengan persetujuan tanpa ada paksaan dari objek dakwah. Karena tujuannya untuk menyakinkan objek dakwah bukan memaksa objek dakwah, seseorang yang dengan suka rela atau prnuh kesadaran telah memilih suatu agama maka yang bersangkutan telah berkewajiban untuk melaksanakan ajaran tersebut secara sempurna.
Disitu disebutkan dengan jelas bahwa kegiatan dakwah itu tidak ada unsur paksaan. Dakwah islam adalah ajakan yang tujuannya dapat tercapai hanya dengan persetujuan tanpa ada paksaan dari objek dakwah. Karena tujuannya untuk menyakinkan objek dakwah bukan memaksa objek dakwah, seseorang yang dengan suka rela atau prnuh kesadaran telah memilih suatu agama maka yang bersangkutan telah berkewajiban untuk melaksanakan ajaran tersebut secara sempurna.
- Rasionalitas. Dalam islam, manusia merupakan makhluk ALLAH yang lebih unggul dibanding makhluk lain, ketinggian dan kelebihan manusia terletak pada akal yang dianugrahkan ALLAH kepadanya, akallah yang membuat manusia memiliki kebudayaan, dan peradaban yang tinggi, Begitu penting peranan akal dalam kehidupan manusia maka kedudukan akal sangatlah penting dalam berdakwah, Karena kalau kita menelaah AL-Qur'an dan hadits, sebagai sumber utama materi dakwah,di samping wahyu, akal memiliki peranan yang besar dalam islam. Dakwah islam merupakan ajaran untuk berfikir, berdebat, dan beragumen. Dakwah islam tidak bisa disikapi dengan sinis, Dakwah harus disampaikan sesuai dengan akal pemikiran yang bisa dibuktikan secara rasiona
- Univesal . Universal dakwah
artinya bahwa objek dakwah islam adalah semua manusia tanpa mengenal
batasan sedikit pun, Islam memandang bahwa semua orang memiliki
kewajiban untuk mendengarkan bukti dan menerima sebuah kebenaran. Islam
mengandung ajaran-ajaran yang berlaku untuk semua tempat dan zaman,
Karakteristik dan kualitas dasar-dasar ajaran islam yang mengandung
nilai-nilai universal, antara lain berkaitan dengan tauhid, etika, moral,
bentuk dan sistem pemerintahan, sosial politik dan ekonomi, partisipasi
dan demokrasi, keadilan sosial, perdamaian, pendidikan dan
intelektualisme,etos erja, lingkungan hidup, dan sebagainya.
·
Sebelum
melakukan kegiatan dakwah yang tentunya merupakan bagian dari dakwah Islam pada
umumnya, pemahaman akan dakwah Islam itu sendiri haruslah dipahami terlebih
dahulu. Bentuk dakwah apapun yang dilakukan oleh kita baik dalam skala individu
ataupun berkelompok haruslah sesuai dengan pedoman danasholah yang
ada. Pentingnya dakwah dan makna dakwah tersebut terdapat di dalam Al-Qur’an
Surah Ali-‘Imran Ayat 104, yang artinya :“Jadilah di antara kamu
sebaik-sebaik umat yang mengajak kepada kebaikan, menyeru kepada yang ma’ruf
dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS.
Ali-Imran : 104).
·
Secara etimilogi, kata dakwah
sebagai bentuk masdar dari kata doa (fi’il madi) dan yad’u (fi’il mudari’) yang
berarti memanggil, mengundang, mengajak, menyeru, mendorong, dan memohon.
Secara terminologi, pengertian dakwah adalah ajakan pada kebaikan dan
keselamatan di dunia dan akhirat. Istilah dakwah digunakan dalam Al-Qur’an,
baik dalam bentuk fi’il maupun dalam bentuk masdar berjumlah lebih dari seratus
kali. Dalam Al-Qur’an, dakwah dalam arti mengajak ditemukan sebanyak 46 kali,
39 kali dalam arti mengajak kepada Islam dan kebaikan, serta 7 kali dalam arti
mengajak ke surga. Beberapa dari ayat tersebut adalah Al-Qur’an Surah Alim
‘Imran : 104, An-Nahl : 125, As-Saf : 7, Al-Mu’minun : 73, An-Nur : 48 dan 51,
Ali-‘Imran: 23, dan Al-Baqarah : 122.
·
Menurut
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dakwah adalah mengajak seseorang agar beriman
kepada Allah dan kepada apa yang dibawa Rasul-Nya dengan membenarkan apa yang
mereka beritakan dan mengikuti apa yang mereka perintahkan. Sementara itu,
Fathi Yakan mengatakan, “Dakwah adalah penghancuran jahiliyah dengan segala
bentuknya, baik jahiliyah pola pikir, moral, maupun jahiliyah
perundang-undangan dan hukum. Setelah itu pembinaan masyarakat Islam dengan
landasan pijak keIslaman, baik dalam wujud kandungannya, dalam bentuk dan
isinya, dalam perundang-undangan dan cara hidup, maupun dalam segi persepsi
keyakinan terhadap alam, manusia dan kehidupan. Pengertian dakwah pada
hakikatnya adalah mengajak manusia kepada Allah dengan hikmah dan nasihat yang
baik, sehingga mereka meninggalkan thagut dan beriman kepada Allah agar mereka
keluar dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya Islam.
·
Pelaku
dakwah disebut dai, sedangkan pelaku tablig disebut mubalig. Tablig adalah
bagian dari dakwah, tetapi dakwah tidak hanya dilakukan dengan tablig. Dalam
pengertian luas, dakwah adalah upaya mengajak seseorang atau sekelompok orang
agar memeluk dan mengamalkan ajaran Islam atau mewujudkan ajaran Islam ke dalam
kehidupan nyata. Dakwah dalam konteks ini, bermakna pembangunan kualitas sumber
daya manusia, pengentasan kemiskinan, memerangi kebodohan dan keterbelakangan,
serta pembebasan. Dakwah juga bisa berarti penyebarluasan rahmat Allah,
sebagaimana telah ditegaskan dlam Islam dengan istilah rahmatan lil alamin.
Atas dasar itulah, esensi dakwah Islam adalah mengajak kepada kebaikan (yad’una
ilalkhair), memerintahkan kepada yang makruf (ya’muruna bil ma’ruf), dan
melarang dari yang munkar (yanhauna ‘anil-munkar) dalam pengertian yang
seluas-luasnya. Allah berfirman dalam surah Ali ‘Imran ayat 110 sebagai berikut “
Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena
kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan
beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik
bagi mereka. Diantara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka dalah
orang-orang fasik. (Q.S. Ali ‘Imran : 110)
3.
APA
HAKEKAT MEMANGGIL, MENGAJAK, DAN MENDOAKAN ?
a.
Hakekat memanggil
Mereka
bertanya mengapa kita panggil Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan
sayyidina Muhammad Shallallahu alaihi wasallam ?
Pertanyaan
ini pada hakikatnya tidaklah terkait dengan dalil atau hujjah namun bagian dari
akhlak. Sebagian ulama (ahli ilmu) pada zaman modern ini memahami ilmuNya
secara ilmiah/logika yakni menggunakan pikiran dan memori.
Jumhur ulama sejak dahulu memahami ilmuNya secara hikmah yakni menggunakan akal dan hati.
Jumhur ulama sejak dahulu memahami ilmuNya secara hikmah yakni menggunakan akal dan hati.
Pikiran
adalah akal dalam bentuk jasmani yakni penggunaan otak. (mengetahui, memahami
dengan menterjemahkan) Berakal adalah akal dalam bentuk ruhani yakni
menggunakan akal. (mengetahui, memahami dengan mengambil pelajaran) Berpikir
dapat terpenuhi oleh anak sejak dini seperti kemampuan membaca, berhitung
Berakal
dapat terpenuhi saat anak telah masuk wajib sholat. Hati dalam bentuk jasmani
adalah “segumpal darah” Hati dalam bentuk ruhani adalah “hati yang lapang”
Orang-orang “Barat” yang umumnya non muslim yang berpikir secara ilmiah/logika
dapat kita temui anak-anak memanggil orang tua mereka dengan namanya dan
murid-murid memanggil guru mereka dengan namanya.
Kita
orang-orang “Timur” khususnya kaum muslim memangil orang tua laki-laki kita
dengan panggilan “ayah”, “abi”, “papa” dll sebagai penghormatan dan ikatan bathin/ruhani
Kita memanggil “ayah”, pada hakikatnya adalah memanggil “hubungan” dan
mendudukan kita sebagai seorang anak. Kita memanggil “pa guru” , pada
hakikatnya adalah memanggil “hubungan” dan mendudukan kita sebagai seorang
murid.
Kita memanggil “ya Robb”, pada hakikatnya adalah memanggil “hubungan” dan mendudukan kita sebagai hamba Allah. Kita memanggil “sayyidina” kepada Rasulullah, pada hakikatnya adalah memanggil “hubungan” dan mendudukan kita sebaga ummat beliau Perbuatan memanggil “hubungan” adalah yang dimaksud dengan perbuatan bathin atau ruhani yang berhubungan dengan akal dan hati.
Kita memanggil “ya Robb”, pada hakikatnya adalah memanggil “hubungan” dan mendudukan kita sebagai hamba Allah. Kita memanggil “sayyidina” kepada Rasulullah, pada hakikatnya adalah memanggil “hubungan” dan mendudukan kita sebaga ummat beliau Perbuatan memanggil “hubungan” adalah yang dimaksud dengan perbuatan bathin atau ruhani yang berhubungan dengan akal dan hati.
Contoh lain di kalangan orang jawa walaupun yang memanggil lebih tua
namun sebagai penghormatan tetap memanggil yang muda dengan “mas”.
Kalau kita pahami secara ilmiah/logika maka itu kita katakan keliru seharusnya memanggilnya “dik” namun kalau kita pahami secara hikmah (akal dan hati) maka panggilan tersebut sah-sah saja Apa yang kami sampaikan adalah apa yang dinamakan “hakikat”. Pada zaman sekarang ini ulama (ahli ilmu) mulai melupakan yang namanya “hakikat”.
Kalau kita pahami secara ilmiah/logika maka itu kita katakan keliru seharusnya memanggilnya “dik” namun kalau kita pahami secara hikmah (akal dan hati) maka panggilan tersebut sah-sah saja Apa yang kami sampaikan adalah apa yang dinamakan “hakikat”. Pada zaman sekarang ini ulama (ahli ilmu) mulai melupakan yang namanya “hakikat”.
Semua itu ditengarai karena ulama-ulama mulai tercemar
atau terserang ghazwul fikri dari pemikir-pemikir agama Islam namun mereka
adalah non muslim. Mereka mendirikan “pusat kajian Islam” yang dipimpin oleh orientalis
barat/non muslim. Aneh memang ada cendekiawan muslim namun belajar agama kepada
orientalis barat/non muslim. Pastilah akam mendapatkan ilmu agama sebatas
secara ilmiah/logika.
b.
Hakekat mengajak
Di zaman sekarang ini
sebagian orang terlalu gampang menyematkan kata “ulama” kpd seseorang. Ada
orang yg disebut ulama lantaran ia adalah dai kondang yg pandai bicara, atau
jadwal ceramahnya cukup padat di televisi, radio, majlis ta’lim maupun
selainnya. Ada pula orang yg dipanggil sebagai ulama karena ia memiliki pondok
pesantren dan jumlah jama’ah pengajiannya sangat banyak. Ada pula orang yg
dianggap ulama karena ia terkenal dengan bacaan n hafalan Al-Qurannya yg bagus.
Dan bahkan ada pula seseorang yg dianggap sebagai ulama lantaran ia selalu
berpakaian gamis/jubah n memakai surban serta membawa biji tasbih ke mana pun
ia pergi.
Akan tetapi, siapakah
diantara mereka yg termasuk ulama Robbani sejati? Ulama yg benar2 memahami
perkara agama Islam, dan mengajak umat kpd Allah ta’ala saja, tanpa mengikat
jamaah dengan dirinya, yayasannya, atau kelompoknya?
Sufyan bin Uyainah
rahimahullah berkata: “Seorang ulama bukanlah orang yang mengetahui kebaikan
dan keburukan, akan tetapi sesungguhnya seorang ulama adalah orang yang
mengetahui kebaikan lalu mengikutinya, dan mengetahui keburukan lalu ia
berusaha menjauhinya.”. (Lihat Min A’laami as-Salaf, II/81).
Dengan demikian, ulama
Robbani yg sesungguhnya ialah siapa sj yg memahami agama Islam yg bersumber
dari Al-Quran Al-Karim dan Hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam yg
shohih dengan baik n benar. Dan ilmu yg dimilikinya dapat menumbuhkan rasa
takut n tunduk di dalam hatinya hanya kpd Allah Ta’ala.
c.
Hakekat mendoakan
Sebagian orang bertanya,
“Mengapa doaku tidak diperkenankan, padahal aku berdoa kepada Allah SWT untuk
diberi rezeki—misalnya—siang dan malam.”
Di sini, Allamah Thabathaba’i,
penulis kitab tafsir al-Mizan mengatakan, “Sesungguhnya doa
diperkenankan, namun kebanyakannya tidak sesuai dengan sangkaan kita, melainkan
sesuai dengan fitrah kemanusiaan. Terkadang kita berdoa kepada Allah SWT supaya
diberi rezeki yang banyak, atau dikaruniai anak laki-laki. Atau dengan kata
lain, kita berdoa sesuai dengan kemauan kita, bukan sesuai dengan
kepentingan-kepentingan fitri kita, padahal seharusnya doa sejalan dengan
kenyataan, bukan dengan khalayan. Bisa saja harta yang banyak itu akan merusak
kita dan menjauhkan kita dari agama, sementara kita tidak mengetahui itu;
padahal Allah SWT mengetahui itu. Dan Dia tidak menginginkan sesuatu bagi kita
kecuali kebaikan. Allah SWT mengetahui bahwa maslahat si Fulan menuntut dia
untuk tetap dalam keadaan fakir dan hidup tanpa harta yang banyak. Allah
mengetahui bahwa agamanya akan lebih baik dalam keadaan ini, dibandingkan jika
sekiranya dia diberi rezeki yang banyak. Akan tetapi, jika Allah melihat bahwa
sekiranya si Fulan diberi anak laki-laki maka agamanya akan menjadi sempurna,
atau keadaannya akan menjadi lebih baik, maka pasti Allah pun memberinya anak
laki-laki. Al-Quran al-Karim telah menyinggung masalah ini secara ringkas namun
penuh manfaat.
·
Boleh jadi kamu membenci
sesuatu, padahal sesuatu itu amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu
menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu
tidak mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 216)
Pada ayat yang lain Allah SWT
juga berfirman dengan makna yang sama:
·
Mungkin saja kamu tiak menyukai
sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak pada sesuatu itu. (QS. An-Nisa : 19)
Sesuatu yang bukan berada di
dalam manfaat kita tidak akan terjadi, lalu kemudian kita pun menyangka bahwa
doa yang kita panjatkan tidak memberikan hasil apa-apa.
Apa-apa yang di dalamnya
terkandung manfaat bagi kita, maka dengan cepat akan terlaksana setelah doa.
Inilah yang ditetapkan oleh Allah SWT atas kita. Dia lebih mengetahui
kemaslahatan hamba-hamba-Nya yang tidak mampu mengenal kebaikan. Banyak dari
mereka yang berdoa dengan sesuatu yang buruk, tanpa menyadarinya. Akan tetapi
Zat yang Maha Kuasa-lah yang menetapkan dan menentukan diperkenankannya doa
yang kita panjatkan setiap hari.
Salah satu masalah yang penting
di dalam doa ialah tidak adanya pemaksaan terhadap suatu permintaan. Para Imam
Ahlul Bait memulai doanya dengan mentauhidkan Allah SWT, menyebutkan
sifat-sifat-Nya, dan menyebutkan rahmat dan kasih sayang-Nya yang meliputi
segala sesuatu, dan tidaklah mereka menyebut hajat mereka kecuali di akhir doa.
Inilah yang dapat kita rasakan pada doa Kumail bin Ziyad, yang terdapat di
dalam kitab Mishbah
al-Mutahajjad. Doa ini
dimulai dengan kata-kata. “Ya
Allah, aku bermohon kepada-Mu dengan rahmat-Mu yang meliputi segala sesuatu,
dengan kekuatan-Mu yang dengannya Engkau taklukkan segala sesuatu, dan yang
dengannya menunduk segala sesuatu, dan yang dengannya menunduk segala sesuatu,
dan yang dengannya merendah segala sesuatu, dan dengan keagungan-Mu yang
mengalahkan segala sesuatu.”
Dan doa ini terus berlanjut
dalam bentuk seperti ini, hingga seseorang mengemukakan sebagian besar
sifat-sifat dan nama-nama Allah SWT, untuk memberikan perhatian yang besar
kepada doa dan Zat yang doa ditujukan kepada-Nya, yang tidak lain adalah Allah
Azza Wajalla. Setelah itu barulah orang yang berdoa menyebutkan hajatnya,
setelah sebelumnya bersumpah kepada Allah SWT atas nama para nabi dan para
rasul-Nya, dan juga Nabi Penutup SAW dan para Imam Ahlul Bait, sehingga orang
yang berdoa dapat merasakan kelezatan doa, yang mana Allah SWT senang melihat
hamba-Nya dalam keadaan demikian, “Ktakanlah, ‘Tuhanku tidak akan
mengindahkan kamu, melainkan kalau ada doamu,’” (QS. Al-Furqan : 77)
Jika Allah SWT tidak
memperkenankan doa yang kita panjatkan, maka janganlah kita berputus asa dari
rahmat Allah SWT, karena putus asa terkadang bisa sampai kepada batas
kekufuran.
·
Dan janganlah kamu berputus asa
dari rahmat Allah. Sesungguhya tidak berputus asa dari rahmat Allah kecuali
orang-orang yang kafir. (QS. Yusuf : 87).
4.
SIAPA
YANG DI PANGGIL DAN DI AJAK ?
Dalam hidup ini, hanya sedikit manusia yang
pernah benar-benar berusaha menelusuri seluk beluk tentang kematian.
Orang-orang pun kurang bersedia untuk membicarakan hal yang tak menyenangkan
ini. Padahal berita kematian adalah berita yang setiap hari kita jumpai di-mass
media dan yang menjadi realitas disekeliling kita. Kematian adalah hal yang
paling pasti. Ia pasti menimpa setiap orang! Ia tak pandang bulu, tak ada
ampun, tidak bisa dinegosiasikan, sekali dan selamanya! Maka bukankah kita
sebenarnya membodohkan diri sendiri bilamana kita sengaja menghindari pemahaman
yang memadai tentang kematian? Masalah sebesar ini semestinya dipelajari
semampu-mampu Anda, supaya Anda menyadari apa yang dapat Anda lakukan untuk
menyambutnya.
Dalam Alkitab seorang hamba Tuhan bernama Ayub
telah mempertanyakan masalah hidup-mati ini 2500 tahun yang lalu! Ia
mengajukan satu pertanyaan penting: "Kalau manusia mati, dapatkah
ia hidup lagi?" (Ayub
14:14)
Jika
kita membaca Yesaya 44:5, maka jelaslah bahwa Yakub dan Israel merupakan milik
kepunyaan Tuhan. Sebagai orang-orang kafir – yakni bukan orang Israel atau
keturunan Abraham melalui Yakub secara jasmani, kita tidak pantas menjadi
kepunyaan Tuhan. Namun menurut Surat Roma 2:28-29 disebutkan, bahwa yang
disebut Yahudi (Israel) sejati ialah dia yang tidak nampak keyahudiannya dan
sunat ialah sunat di dalam hati, secara rohani. Karena kita adalah orang Israel
secara rohani, kita pun layak menyebut: “Aku kepunyaan Tuhan”.
Seperti
yang terkutip dalam Yesaya 44:1-2, Tuhan telah memilih Yakub dan Israel dan
menyebut mereka dengan nama Yesyurun. Suatu pilihan terjadi karena ada
panggilan, seperti yang tertulis dalam Yesaya 43:1, bahwa Tuhan memanggil
dengan nama. Tuhan, yang nama-Nya adalah Tuhan Yesus Kristus telah memanggil
nama kita masing-masing untuk dipilih menjadi milik-Nya. Ini berarti bahwa nama
kita telah terdaftar atau tertulis di dalam buku kehidupan seperti yang digambarkan
dalam Surat Ibrani 12:22-23. Karena Tuhan telah memanggil nama kita, hendaknya
kita datang kepada-Nya dengan cara beribadah, sehingga pada saatnya nanti kita
dapat datang ke Yerusalem sorgawi, kota Allah yang hidup. Oleh karena itu,
hendaknya kita bersyukur dan berterima kasih, jika Tuhan masih mau memanggil
nama kita untuk datang kepada-Nya dan mendengarkan suara-Nya. Jangan sampai
nama kita terhapus dari buku kehidupan seperti yang terdapat dalam Mazmur
69:29, karena tidak mau memenuhi panggilan-Nya.
Jika
dalam Yesaya 43:1 Yakub dan Israel sampai pada tahap dipanggil, maka pada pasal
44:1 mereka sampai pada tahap dipilih dan disebut Yesyurun, yang artinya
dicintai. Setiap kepunyaan Tuhan pasti telah melewati tahap dipanggil dan
dipilih. Ada ayat yang mengatakan, “Banyak yang dipanggil tetapi sedikit yang
dipilih”. Istilah “Yesyurun” dalam Alkitab disebut hanya empat kali. Hal ini
dapat diartikan bahwa tidak banyak orang yang dipilih untuk dicintai Tuhan.
Bila
kita membaca 2 Petrus 1:9-11, pada kenyataannya banyak orang Kristen yang lupa
bahwa dosa-dosanya yang dahulu telah dihapuskan, sehingga ia menjadi orang yang
picik dan buta rohani. Tetapi hendaknya kita selalu mengingat bahwa dosa-dosa
kita telah diampuni dan berusaha sungguh-sungguh untuk hidup di dalam Tuhan,
supaya panggilan dan pilihan kita makin teguh dan tidak akan tersandung, sampai
akhirnya kita diberi hak untuk masuk kerajaan kekal yaitu sorga yang mulia.
Tentang
Yesyurun, dalam Ulangan 33:26-27 dikatakan, “Tidak ada yang seperti Allah, hai
Yesyurun ... Allah yang abadi adalah tempat perlindunganmu ...” Pada terjemahan
lain, kalimat awal pada ayat 26 dikatakan, “Tidak ada yang seperti Allahnya
Yesyurun”. Ini berarti Allahnya Yesyurun adalah luar biasa dan tak tertandingi.
Kelompok Yesyurun adalah yang telah dipilih Tuhan dan layak berkata: “Aku
kepunyaan Tuhan”, serta memiliki Allah yang luar biasa. Dia menjadi penolong
dan tempat perlindungan kita.
Ada
jaminan berkat bagi orang yang dipanggil dan dipilih untuk dijadikan Yesyurun,
yaitu di dalam Ulangan 33:28-29
1. Yesyurun akan diam dengan tenteram dan tidak terganggu di dalam suatu negeri yang ada gandum dan anggur, bahkan langitnya menitikkan embun. Ini adalah berkat pemeliharaan dari Tuhan.
2. Yesyurun diselamatkan oleh Tuhan sebagai perisai pertolongan dan pedang kejayaan mereka, sehingga musuh akan tunduk menjilat kepada mereka. Ini adalah berkat pembelaan Tuhan, sehingga mereka disebut berbahagia.
1. Yesyurun akan diam dengan tenteram dan tidak terganggu di dalam suatu negeri yang ada gandum dan anggur, bahkan langitnya menitikkan embun. Ini adalah berkat pemeliharaan dari Tuhan.
2. Yesyurun diselamatkan oleh Tuhan sebagai perisai pertolongan dan pedang kejayaan mereka, sehingga musuh akan tunduk menjilat kepada mereka. Ini adalah berkat pembelaan Tuhan, sehingga mereka disebut berbahagia.
5.
MENGAPA
HARUS DI PANGGIL DAN DI AJAK ?
ن النبيّ صلى اللّه عليه وسلم إذا أفطر قال:
"ذَهَبَ الظَّمأُ، وابْتَلَّتِ العُرُوقُ، وَثَبَتَ الأجْرُ إِنْ شاءَ اللَّهُ
تَعالى".
"Kami meriwayatkan dalam kitab Sunan Imam Abi Daud dan Imam an-Nasaa'i, dari Ibnu Umar -radliyallahu 'anhumaa-, dia berkata : Ketika Rasulullah berbuka puasa, beliau mengucapkan ; "Dahaga telah hilang, kerongkongan (urat-urat leher) telah basah, dan telah ditetapkan pahalanya, InsyaAllah ta'alaa"
وروينا في سنن أبي داود، عن معاذ بن زهرة أنه بلغه أن النبيّ صلى اللّه عليه وسلم كان إذا أفطر قال:"اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلى رِزْقِكَ أفْطَرْتُ"
"Kami meriwayatkan dalam kitab Sunan Abi Daud, dari Mu'adz bin Zahrah bahwa ketika Rasulullah akan berbuka puasa, beliau mengucapkan ; "ya Allah, karena engkau aku puasa dan atas rizki yang engkau berikan aku berbuka".
وروينا في كتاب ابن السني، عن معاذ بن زهرة قال:كان رسولُ اللّه صلى اللّه عليه وسلم إذا أفطر قال: "الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذي أعانَنِي فَصَمْتُ، وَرَزَقَنِي فأفْطَرْتُ"
"Kami meriwayatkan dalam kitab Ibnus Sunni, dari Mu'adz bin Zahrah bahwa ketika Rasulullah akan berbuka puasa, beliau mengucapkan ; "Segala puji bagi Allah yang telah memberikanku pertolongan maka aku berpuasa ,dan memberiku rizqi maka aku berbuka puasa ".
وروينا في كتاب ابن السني، عن ابن عباس رضي اللّه عنهما قال:كان النبيّ صلى اللّه عليه وسلم إذا أفطر قال: "اللَّهُمَّ لَكَ صُمْنا، وَعلى رِزْقِكَ أَفْطَرْنا، فَتَقَبَّلْ مِنَّا إنَّكَ أنْتَ السَّمِيعُ العليم"
"Kami meriwayatkan dalam kitab Ibnus Sunni, dari Ibnu 'Abbas -radliyallahu 'anahumaa- bahwa ketika Rasulullah akan berbuka puasa, beliau mengucapkan ; "yaa Allah karene Engkau kami perpuasa, atas rizqi yang Engkau berikan, kami berbuka puasa, maka terima do'a kami, sesesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui ".
وروينا في كتابي ابن ماجه وابن السني، عن عبد اللّه بن أبي مليكة عن عبد اللّه بن عمرو بن العاص رضي اللّه عنهما قال: سمعت رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم يقول: "إنَّ للصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ لَدَعْوَةً ما تُرَدُّ" قال ابن أبي مُليكة: سمعتُ عبد اللّه بن عمرو إذا أفطرَ يقول:"اللَّهُمَّ إني أسألُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْء أنْ تَغْفِرَ لي"
"Kami meriwayatkan dalam kitab Ibnu Majah dan Ibnus Sunni, dari Abdullah bin Abi Malikah, dari Abdullah bin 'Amru bin al-'Ash -radliyallahu 'anahumaa- dia berkata : aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam mengatakan, "sesungguhnya bagi orang yang puasa ketika berbuka, do'anya tidak ada yang tertolak", Ibnu Malikah berkata : "Aku mendengar Abdullah bin 'Amru ketika berbuka mengatakan ; "ya Allah sesungguhnya aku memohon pertolongan dengan rahmat-Mu yang sangat luas meliputi segala sesuatu, agar Engkau mengampuni aku".
"Kami meriwayatkan dalam kitab Sunan Imam Abi Daud dan Imam an-Nasaa'i, dari Ibnu Umar -radliyallahu 'anhumaa-, dia berkata : Ketika Rasulullah berbuka puasa, beliau mengucapkan ; "Dahaga telah hilang, kerongkongan (urat-urat leher) telah basah, dan telah ditetapkan pahalanya, InsyaAllah ta'alaa"
وروينا في سنن أبي داود، عن معاذ بن زهرة أنه بلغه أن النبيّ صلى اللّه عليه وسلم كان إذا أفطر قال:"اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلى رِزْقِكَ أفْطَرْتُ"
"Kami meriwayatkan dalam kitab Sunan Abi Daud, dari Mu'adz bin Zahrah bahwa ketika Rasulullah akan berbuka puasa, beliau mengucapkan ; "ya Allah, karena engkau aku puasa dan atas rizki yang engkau berikan aku berbuka".
وروينا في كتاب ابن السني، عن معاذ بن زهرة قال:كان رسولُ اللّه صلى اللّه عليه وسلم إذا أفطر قال: "الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذي أعانَنِي فَصَمْتُ، وَرَزَقَنِي فأفْطَرْتُ"
"Kami meriwayatkan dalam kitab Ibnus Sunni, dari Mu'adz bin Zahrah bahwa ketika Rasulullah akan berbuka puasa, beliau mengucapkan ; "Segala puji bagi Allah yang telah memberikanku pertolongan maka aku berpuasa ,dan memberiku rizqi maka aku berbuka puasa ".
وروينا في كتاب ابن السني، عن ابن عباس رضي اللّه عنهما قال:كان النبيّ صلى اللّه عليه وسلم إذا أفطر قال: "اللَّهُمَّ لَكَ صُمْنا، وَعلى رِزْقِكَ أَفْطَرْنا، فَتَقَبَّلْ مِنَّا إنَّكَ أنْتَ السَّمِيعُ العليم"
"Kami meriwayatkan dalam kitab Ibnus Sunni, dari Ibnu 'Abbas -radliyallahu 'anahumaa- bahwa ketika Rasulullah akan berbuka puasa, beliau mengucapkan ; "yaa Allah karene Engkau kami perpuasa, atas rizqi yang Engkau berikan, kami berbuka puasa, maka terima do'a kami, sesesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui ".
وروينا في كتابي ابن ماجه وابن السني، عن عبد اللّه بن أبي مليكة عن عبد اللّه بن عمرو بن العاص رضي اللّه عنهما قال: سمعت رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم يقول: "إنَّ للصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ لَدَعْوَةً ما تُرَدُّ" قال ابن أبي مُليكة: سمعتُ عبد اللّه بن عمرو إذا أفطرَ يقول:"اللَّهُمَّ إني أسألُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْء أنْ تَغْفِرَ لي"
"Kami meriwayatkan dalam kitab Ibnu Majah dan Ibnus Sunni, dari Abdullah bin Abi Malikah, dari Abdullah bin 'Amru bin al-'Ash -radliyallahu 'anahumaa- dia berkata : aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam mengatakan, "sesungguhnya bagi orang yang puasa ketika berbuka, do'anya tidak ada yang tertolak", Ibnu Malikah berkata : "Aku mendengar Abdullah bin 'Amru ketika berbuka mengatakan ; "ya Allah sesungguhnya aku memohon pertolongan dengan rahmat-Mu yang sangat luas meliputi segala sesuatu, agar Engkau mengampuni aku".
Beriman kepada hari Akhir
dan kejadian yang ada padanya merupakan salah satu rukun iman yang wajib
diyakini oleh setiap muslim. Untuk mencapai kesempurnaan iman terhadap hari
Akhir, maka semestinya setiap muslim mengetahui peristiwa dan tahapan yang akan
dilalui manusia pada hari tersebut. Di antaranya yaitu masalah hisab
(perhitungan) yang merupakan maksud dari iman kepada hari Akhir. Karena,
pengertian dari beriman kepada hari kebangkitan adalah, beriman dengan hari
kembalinya manusia kepada Allah lalu dihisab. Sehingga hakikat iman kepada hari
kebangkitan adalah iman kepada hisab ini.
Pengertian hisab disini
adalah, peristiwa Allah menampakkan kepada manusia amalan mereka di dunia dan
menetapkannya[2]. Atau Allah mengingatkan dan memberitahukan kepada manusia
tentang amalan kebaikan dan keburukan yang telah mereka lakukan.[3]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, Allah akan menghisab seluruh makhluk dan berkhalwat kepada seorang mukmin, lalu menetapkan dosa-dosanya[4]. Syaikh Shalih Ali Syaikh mengomentari pandangan ini dengan menyatakan, bahwa inilah makna al muhasabah (proses hisab)[5]. Demikian juga Syaikh Ibnu Utsaimin menyatakan, muhasabah adalah proses manusia melihat amalan mereka pada hari Kiamat[6].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, Allah akan menghisab seluruh makhluk dan berkhalwat kepada seorang mukmin, lalu menetapkan dosa-dosanya[4]. Syaikh Shalih Ali Syaikh mengomentari pandangan ini dengan menyatakan, bahwa inilah makna al muhasabah (proses hisab)[5]. Demikian juga Syaikh Ibnu Utsaimin menyatakan, muhasabah adalah proses manusia melihat amalan mereka pada hari Kiamat[6].
Hisab Menurut Istilah
Aqidah Memiliki Dua Pengertian :
Pertama : Al ‘Aradh (pemaparan). Juga demiliki mempunyai dua pengertian juga.
1). Pengertian umum, yaitu seluruh makhluk ditampakkan di hadapan Allah dalam keadaan menampakkan lembaran amalan mereka. Ini mencakup orang yang dimunaqasyah hisabnya dan yang tidak dihisab.
2). Pemaparan amalan maksiat kaum Mukminin kepada mereka, penetapannya, merahasiakan (tidak dibuka dihadapan orang lain) dan pengampunan Allah atasnya. Hisab demikian ini dinamakan hisab yang ringan (hisab yasir) [7].
Pertama : Al ‘Aradh (pemaparan). Juga demiliki mempunyai dua pengertian juga.
1). Pengertian umum, yaitu seluruh makhluk ditampakkan di hadapan Allah dalam keadaan menampakkan lembaran amalan mereka. Ini mencakup orang yang dimunaqasyah hisabnya dan yang tidak dihisab.
2). Pemaparan amalan maksiat kaum Mukminin kepada mereka, penetapannya, merahasiakan (tidak dibuka dihadapan orang lain) dan pengampunan Allah atasnya. Hisab demikian ini dinamakan hisab yang ringan (hisab yasir) [7].
Kedua : Munaqasyah, dan
inilah yang dinamakan hisab (perhitungan) antara kebaikan dan keburukan [8]. Untuk itulah Syaikhul Islam
menyatakan, hisab, dapat dimaksudkan sebagai perhitungan antara amal kebajikan
dan amal keburukan, dan di dalamnya terkandung pengertian munaqasyah. Juga
dimaksukan dengan pengertian pemaparan dan pemberitahuan amalan terhadap
pelakunya [9].
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam menyatakan di dalam sabdanya:
مَنْ حُوسِبَ عُذِّبَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ أَوَلَيْسَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا قَالَتْ فَقَالَ إِنَّمَا ذَلِكِ الْعَرْضُ وَلَكِنْ مَنْ نُوقِشَ الْحِسَابَ يَهْلِكْ
“Barangsiapa yang dihisab, maka ia tersiksa”. Aisyah bertanya,”Bukankah Allah telah berfirman ‘maka ia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah’ [10]” Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Hal itu adalah al ‘aradh. Namun barangsiapa yang dimunaqasyah hisabnya, maka ia akan binasa”. [Muttafaqun ‘alaihi]
مَنْ حُوسِبَ عُذِّبَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ أَوَلَيْسَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا قَالَتْ فَقَالَ إِنَّمَا ذَلِكِ الْعَرْضُ وَلَكِنْ مَنْ نُوقِشَ الْحِسَابَ يَهْلِكْ
“Barangsiapa yang dihisab, maka ia tersiksa”. Aisyah bertanya,”Bukankah Allah telah berfirman ‘maka ia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah’ [10]” Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Hal itu adalah al ‘aradh. Namun barangsiapa yang dimunaqasyah hisabnya, maka ia akan binasa”. [Muttafaqun ‘alaihi]
Kepastian adanya hisab ini
telah dijelaskan di dalam al Qur`an dan Sunnah. Firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala :
"Adapun orang yang diberikan
kitabnya dari sebelah kanannya, maka ia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang
mudah", [al Insyiqaq / 84 : 7-8].
"Adapun orang yang
diberikan kitabnya dari belakang, maka dia akan berteriak: “Celakalah aku”. Dan
dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)". [al Insyiqaq /
84:10-12]
"Sesungguhnya kepada
Kami-lah kembali mereka, kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab
mereka". [al Ghasyiyah / 88 : 25-26]
"Pada hari ini,
tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang
dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya". [al
Mu’min / 40 : 17]
Sedangkan dalil dari
Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di antaranya hadits yang
diriwayatkan Imam Muslim dari Aisyah, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, beliau berkata:
لَيْسَ أَحَدٌ يُحَاسَبُ إِلَّا هَلَكَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَيْسَ اللَّهُ يَقُولُ حِسَابًا يَسِيرًا قَالَ ذَاكِ الْعَرْضُ وَلَكِنْ مَنْ نُوقِشَ الْحِسَابَ هَلَكَ
“Tidak ada seorangpun yang dihisab kecuali binasa,” Aku (Aisyah) bertanya,”Wahai Rasulullah, bukankah Allah berfirman ‘pemeriksaan yang mudah’?” Beliau menjawab,”Itu adalah al aradh, namun barangsiapa yang diperiksa hisabnya, maka binasa”.
لَيْسَ أَحَدٌ يُحَاسَبُ إِلَّا هَلَكَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَيْسَ اللَّهُ يَقُولُ حِسَابًا يَسِيرًا قَالَ ذَاكِ الْعَرْضُ وَلَكِنْ مَنْ نُوقِشَ الْحِسَابَ هَلَكَ
“Tidak ada seorangpun yang dihisab kecuali binasa,” Aku (Aisyah) bertanya,”Wahai Rasulullah, bukankah Allah berfirman ‘pemeriksaan yang mudah’?” Beliau menjawab,”Itu adalah al aradh, namun barangsiapa yang diperiksa hisabnya, maka binasa”.
Imam Ibnu Abil Izz (wafat
tahun 792 H) menjelaskan, makna hadits ini adalah, seandainya Allah memeriksa
dengan menghitung amal kebajikan dan keburukan dalam hisab hambaNya, tentulah
akan mengadzab mereka dalam keadaan tidak menzhalimi mereka sedikitpun, namun
Allah memaafkan dan mengampuninya.[11]
Demikian juga umat Islam,
sepakat atas hal ini [12]. Sehingga apabila seseorang mengingkari hisab, maka
ia telah berbuat kufur, dan pelakunya sama dengan pengingkar hari
kebangkitan.[13]
Syaikhul Islam menyatakan:
“Allah akan menghisab seluruh makhlukNya” Dari pernyataan ini, Syaikhul Islam
menjelaskan, bahwa Allah akan menghisab seluruh makhlukNya. Namun ini termasuk
menggunakan lafahz bermakna umum tapi yang dimaksudkan adalah tertentu saja.
Yaitu khusus yang Allah bebani syariat. Karena pemberlakuan proses hisab itu
pada amalan baik dan buruk hamba yang mukallaf, mencakup manusia dan jin [15].
Begitu pula Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menyatakan, bahwa hisab ini juga mencakup
jin, karena mereka mukallaf. Oleh karena itu, jin kafir masuk ke dalam neraka,
sebagaimana disebutkan menurut nash syariat dan Ijma’. Firman Allah Subhanahuw
a Ta'ala menyebutkan :
"Allah
berfirman:"Masuklah kamu sekalian ke dalam neraka bersama umat-umat jin
dan manusia yang telah terdahulu sebelum kamu… " [al A'raf/. 7:38]